Rabu, 17 April 2013

Mereka



            Ledakan kembang api sudah berlalu. Warna-warna yang berloncatan semarak sudah meluntur di angkasa. Langit yang dihiasi percikan api juga sudah kembali hitam. Menyisakan sampah yang bersebaran di tanah lapang berumput ini. Dengan aku  yang berdiri tegak ditengahnya. Menyaksikan angin yang menberbangkan deretan sampah perlahan, sambil mendengar rintihan rerumputan yang lecet ditimpa puluhan alas kaki.
            Angin yang menghembus membuatku harus merapatkan jaket anginku. Disela dingin aku melirik arlojiku, yang menyembul dari kantong jaket. Ternyata ia tidak ikut membeku akibat angin malam. Jarumnya telah berputar hingga jam sebelas. Tapi aku tidak ingin pulang.
            Kaki-ku melangkah mengitari alun-alun, menginjak sampah demi sampah, menyimpan beribu tanya. Dimana tim kebersihan? Atau memang tidak ada tim itu? Akankah sampah-sampah ini terdiam kedinginan hingga tuannya sang pemulung mangambilnya besok? Setelah gegap gempita seratus delapan puluh menit, semua pergi, meninggalkan semua barang yang salah alamat disini. Tanpa berpikir nasib kebersihan kota esok harinya.
            Aku membelok, menuju sudut alun-alun yang lain. Masih sama dengan sampah yang menyapa sepatuku sejak tadi. Aku mengangkat Nikon D700ku. Haruskah aku merangkum semua ini dalam satu foto, lalu menerbitkannya di Koran? Dengan cara itukah pemerintah akan membuka pikiran, lalu mengirimkan pasukan kebersihannya?
            Mataku menangkap setiap meter alun-alun utara ini. Tiba-tiba aku merasa telah dipecundangi oleh perasaanku. Ini kotaku, ini tempatku menata masa depan, menggapainya, dan menjalankannya. Tanganku menarik Nikon D700ku turun, tidak tega dengan berita media massa yang akan kudengar bila aku bersikukuh menerbitkannya.
            Kuputuskan untuk mengitari lagi tempat favoritku ini, yang sayangnya harus mengecap sampah tiap tahunnya. “Kulo nuwun, mas, tidak pulang ke rumah?” seseorang manyapaku. Aku menengok, mendapati bapak-bapak dengan caping dan penghangat tubuh, berdiri dibelakangku.
            “Belum, pak. Ingin jalan-jalan dulu,” jawabku. Sesaat aku berfikir apakah yang dilakukan orang ini sama denganku. Aku segera mendapatkan jawabannya. Bapak-bapak itu merespon jawabanku sekadarnya, lalu kembali meraih tongkat dan karung goni yang rupanya sudah menemaninya sejak tadi. Tongkat itu lalu menindih sampah bergantian, meluncurkan sampah itu menuju karung goni.
            Angin berhembus lagi. Pak tua itu tidak takut kehilangan ‘anak’ nya yang lain, masih banyak yang berserakan didekatku. Aku tidak yakin pak tua itu utusan pemerintah. Ia pasti juga bukan pecinta lingkungan. Pak tua itu hanya pengumpul sampah, yang selalu menyelamatkan taman kota dan alun-alun setiap tahunnya.
            Kali ini dengan yakin aku mengangkat Nikon D700ku. Dengan radius empat meter, aku mengatur lensaku, pada focus utamanya. Kupastikan foto ini terbit besok pagi, dengan keterangan ‘Pahlawan Kota Malam’, dibawahnya, meski bukan pada halaman utama.
            Telunjukku menekan shutter kamera beberapa kali, lalu kututup lensa kameraku. Aku beranjak pulang, bersama angin yang bertiup sekali lgi. Aku melirik sampah yang terbang ke arahku. Tuannya datang malam ini. Mereka tidak perlu takut kedinginan untuk beberapa jam kedepan

 amaliarosyid,
8 jam terakhir November 2012
you can check it out on my Squard'Z (7th edition)