Ledakan kembang api sudah
berlalu. Warna-warna yang berloncatan semarak sudah meluntur di angkasa. Langit
yang dihiasi percikan api juga sudah kembali hitam. Menyisakan sampah yang
bersebaran di tanah lapang berumput ini. Dengan aku yang berdiri tegak ditengahnya. Menyaksikan
angin yang menberbangkan deretan sampah perlahan, sambil mendengar rintihan
rerumputan yang lecet ditimpa puluhan alas kaki.
Angin yang menghembus
membuatku harus merapatkan jaket anginku. Disela dingin aku melirik arlojiku,
yang menyembul dari kantong jaket. Ternyata ia tidak ikut membeku akibat angin
malam. Jarumnya telah berputar hingga jam sebelas. Tapi aku tidak ingin pulang.
Kaki-ku melangkah
mengitari alun-alun, menginjak sampah demi sampah, menyimpan beribu tanya. Dimana
tim kebersihan? Atau memang tidak ada tim itu? Akankah sampah-sampah ini
terdiam kedinginan hingga tuannya sang pemulung mangambilnya besok? Setelah
gegap gempita seratus delapan puluh menit, semua pergi, meninggalkan semua
barang yang salah alamat disini. Tanpa berpikir nasib kebersihan kota esok
harinya.
Aku membelok, menuju sudut
alun-alun yang lain. Masih sama dengan sampah yang menyapa sepatuku sejak tadi.
Aku mengangkat Nikon D700ku. Haruskah aku merangkum semua ini dalam satu foto,
lalu menerbitkannya di Koran? Dengan cara itukah pemerintah akan membuka
pikiran, lalu mengirimkan pasukan kebersihannya?
Mataku menangkap setiap
meter alun-alun utara ini. Tiba-tiba aku merasa telah dipecundangi oleh
perasaanku. Ini kotaku, ini tempatku menata masa depan, menggapainya, dan
menjalankannya. Tanganku menarik Nikon D700ku turun, tidak tega dengan berita
media massa yang akan kudengar bila aku bersikukuh menerbitkannya.
Kuputuskan untuk mengitari
lagi tempat favoritku ini, yang sayangnya harus mengecap sampah tiap tahunnya.
“Kulo nuwun, mas, tidak pulang ke
rumah?” seseorang manyapaku. Aku menengok, mendapati bapak-bapak dengan caping
dan penghangat tubuh, berdiri dibelakangku.
“Belum, pak. Ingin
jalan-jalan dulu,” jawabku. Sesaat aku berfikir apakah yang dilakukan orang ini
sama denganku. Aku segera mendapatkan jawabannya. Bapak-bapak itu merespon
jawabanku sekadarnya, lalu kembali meraih tongkat dan karung goni yang rupanya
sudah menemaninya sejak tadi. Tongkat itu lalu menindih sampah bergantian, meluncurkan
sampah itu menuju karung goni.
Angin berhembus lagi. Pak
tua itu tidak takut kehilangan ‘anak’ nya yang lain, masih banyak yang
berserakan didekatku. Aku tidak yakin pak tua itu utusan pemerintah. Ia pasti
juga bukan pecinta lingkungan. Pak tua itu hanya pengumpul sampah, yang selalu
menyelamatkan taman kota dan alun-alun setiap tahunnya.
Kali ini dengan yakin aku
mengangkat Nikon D700ku. Dengan radius empat meter, aku mengatur lensaku, pada
focus utamanya. Kupastikan foto ini terbit besok pagi, dengan keterangan ‘Pahlawan Kota Malam’, dibawahnya, meski
bukan pada halaman utama.
Telunjukku menekan shutter
kamera beberapa kali, lalu kututup lensa kameraku. Aku beranjak pulang, bersama
angin yang bertiup sekali lgi. Aku melirik sampah yang terbang ke arahku.
Tuannya datang malam ini. Mereka tidak perlu takut kedinginan untuk beberapa
jam kedepan
amaliarosyid,
8 jam terakhir November 2012
you can check it out on my Squard'Z (7th edition)