Kau tahu, Paris tidak seindah yang kau kira –tidak untuk ceritaku.
Jalanan Jardin du Luxembourg hanyalah jalanan Jardin du Luxembourg yang biasa
orang-orang Prancis datangi pada akhir pekan, taman yang biasa saja. Bukan sesuatu menakjubkan yang biasanya adalah sebuah
ekspresi kagum para turis-turis mancanegara. Tidak lagi sebuah jalan indah yang
mengitari kolam dan rumpun-rumpun bunga pansy,
atau tulip.
Kolam oktagonal dan puluhan karya seni berupa patung memang masih berdiam
disana. Tidak berubah, apalagi berpindah. Hanya saja, musim dan waktu yang
cukup buruk membuatku membenci semua itu. Tidak, aku tidak pernah membenci
karya seni. Aku bahkan penyuka karya
seni. Tapi bukan karya seni di kota ini.
***
Aneh memang. Aku merasa sebagai orang Indonesia. Orang-orang pun memandangku
begitu. Wajahku adalah bukti aku keturunan Asia, ditambah mata bulatku yang
berwarna coklat tua, dan kulit kecoklatanku. Tapi aku hanya pernah menginjak
negara tropis yang kaya itu selama sepuluh bulan. Dan itu bukan sepuluh bulan
tahun lalu –sepuluh bulan bertahun-tahun yang lalu.
Umurku sepuluh bulan lebih sedikit ketika aku akhirnya direcoki bahasa
Prancis. Lalu bahasa Jerman, 2 tahun kemudian. Ayahku mendapat beasiswa di
Jerman, dan meski Prancis dan Jerman tidak jauh, bahkan beberapa bangunan mereka
ada yang terlihat sama, ibuku memutuskan untuk mengikuti ayahku.
Secara resmi, aku pun memulai perjalananku di kota terbesar di Jerman,
Berlin. Belajar menyanyikan Das Lied der Deutschen ketika aku memasuki sekolah dasar, lalu mengenal
Beethoven, Mozart, Bach, atau Strauss bukan hanya dalam pelajaran musik, tapi
juga dalam pelajaran Sejarah.
Aku juga berkenalan dengan seorang anak
laki-laki. Dia adalah orang Indonesia, dan kau bisa menyimpulkan mengapa aku
memilih berteman dengannya.
Sampai akhirnya dia menceritakan kepadaku
mengenai Sungai Rhein. Ukuran 1320 km-nya, hutan pinus atau tebing yang berada
disamping kiri-kanannya, dan kisahnya. Kisah seorang perempuan yang menyisir
rambutnya yang membuat seisi kapal tenggelam.
Perempuan itu bukan pelakunya, semua orang tahu.
Kapten kapal itu lah yang menyebabkan tragedi itu. Kapten kapal itu terpesona
oleh perempuan yang sedang menyisir helaian rambutnya itu. Kurang lebih begitu
alur yang kupahami ketika aku berumur 7 tahun. Legenda Loreley yang kemudian guru
musikku mengajarkan alur nadanya.
“Apakah aku memang harus mendengar kisah itu?”
tanyaku polos, kepada temanku itu.
Temanku itu tertawa, khas anak kecil. “Kau
tinggal di Jerman cukup lama, kurasa kau harus tahu kisah itu,” ia beralasan.
Setelah aku berumur 13 tahun dan kembali ke
Prancis. Sejak saat itu aku berteman dengan buku dan internet. Aku baru
mengetahui soal Jembatan Gembok Cinta di Sungai Rhein. Hal yang paling aneh
yang kutahu saat umurku beranjak 13 tahun. Legenda Loreley adalah kisah yang menyedihkan,
bukan? Tapi ribuan pasangan justru datang kesana, agar Sungai Rhein bisa
menjadi saksi kisah mereka, lalu mendatangi Jembatan Hohenzollenbruecke untuk ‘menggembok’ cinta mereka.
Sebagai anak berumur 13 tahun, bagiku itu bukan hal yang harus ku kuasai. Hal
yang menarik dari informasi yang kutangkap, Prancis memiliki Rhein yang lain.
Sebenarnya bukan Rhein yang lain. Terusan Rhein di Prancis.
Namanya Rhine. Nama yang sebenarnya sama, orang Jerman menyebutnya Rhein,
versi orang Prancis adalah Rhine.
Di Kastil Tua abad pertengahan di tepian Sungai Rhine itulah ceritaku
tercipta hulunya. Umurku 14 tahun. Waktu yang sudah sangat lama untuk mengingat
teman masa kecilku kan? Tetapi aku ternyata aku masih mengenali anak laki-laki
kecil yang menceritakanku kisah Sungai Rhein, ketika akhirnya aku berkujung ke
Sungai Rhine.
Ketika umurku 14 tahun, dan aku mendapat hadiah ulang tahun sebuah
‘sahabat’ dari orang tuaku. Nikon D700 yang segera menjadi bagian dari
perjalananku. Aku menyukai fotografi dari sekian keahlian seni yang ada di
dunia ini. Dan hal pertama yang ingin kuabadikan adalah Sunga Rhine.
“Excusez-moi, Mademoiselle,”
seseorang mencolek pundakku, dan aku reflek menurunkan kameraku, lalu berbalik.
“Oui?” sahutku.
Seseorang anak laki-laki kira-kira seumuranku berdiri didepanku, membuat
sekelebat bayangan masa lalu muncul di otakku. “Renos,” gumamku. Membuat
laki-laki tadi berjengit. “Eh, kau menggumamkan nama sebuah tempat –atau
seeorang?” tanyanya.
“Eh, tidak. Pardon. Ada yang bisa
kubantu?” tanyaku balik. Saking gugupnya aku menjatuhkan tutup lensa kameraku.
Laki-laki dihadapanku membantuku mengambilnya. Ia pun merunduk. Gerakan itu
membuat sebentuk liontin keluar dari mantelnya.
Kali ini aku yakin. “Renos. Kau,” ujarku.
“Kau tahu namaku?” ia menunjuk dirinya sendiri. Kaget. Aku mengangguk, mengangguk kepada laki-laki
yang dulu menceritakanku mengenai bagian lain dari sungai disamping kami ini.
Ia menatapku, mencari-cari nama yang pas untuk dia tebak, mungkin. Tetapi
ternyata dia tidak akan menebak. Karena kemudian ia menemukannya, “Comment allez-vous, Reyna?” ucapnya.
“Je vais bien,” jawabku. Entah
mengapa aku merasa sangat senang.
“Bagaimana kau masih bisa mengenaliku?” tanyanya.
Aku tertawa, “Efek kisah Sungai Rhein, mungkin,” jawabku.
“Iya,” katanya, “Mungkin itu alasanku mengapa aku menceritakannya kepadamu,”
ia mengangguk. Aku terdiam. Benarkah? Waktu harusnya sudah memakan itu semua. Seharusnya.
“Bagaimana kabar ayahmu? Ibumu? Sudah lama sekali aku tidak bertemu
mereka,” katanya, tema obrolan kami seketika berganti. Aku memalingkan muka ke
arah sungai, “Mereka baik. Baik sekali,” jawabku.
Satu jam kemudian, ia harus pergi. “Bisa kau beritahu sahabatmu ini, dimana
rumahmu?” tanyanya. Aku memberinya kartu nama ayahku yang selalu kubawa
kemanapun aku pergi. “Tidak
jauh dari L’Arc De Triomphe,” kataku. Ia tersenyum, “Berita bagus.
Bagaimana jika lusa kita bertemu di bawah L’Arc De Triomphe? Naik bersama-sama
kesana mungkin akan sangat menyenangkan,” katanya.
Bermain bersama sahabat
kecilku dulu bukan hal buruk, aku mengiyakan. “Jangan bawa pacarmu,” katanya,
memperingatkan. “Kau ini mengejek atau apa, sih?” aku mendengus, “Aku tidak
punya pacar,” tukasku.
Ia tertawa. “Berita bagus
nomor dua!” serunya, “Baiklah kalau begitu, sampai jumpa lusa sehabis sarapan
di L’Arc De Triomphe!” ia melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya.
Faktanya, aku dan dia
belum pernah bersama-sama menuju L’Arc De Triomphe bersama-sama. Aku tidak
sengaja bertemu dengannya di Jardin du Luxembourg esok harinya. Katanya, dia
sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Ada sesuatu yang harus kuketahui.
Ia mengajakku duduk
dibawah Patung Liberty di kompleks Jardin du Luxembourg. “Renos harus pergi,”
ia berkata begitu dengan muka sedih khas anak laki-laki. Bukan itu yang
membuatku sedih. Aku mengatakan hal yang sama ketika aku akan kembali ke
Prancis.
“Reyna harus pergi. Ke
Prancis. Karena rumah Reyna disana,” kataku, waktu itu, ketika salju membuat
pipi kami berdua memerah. Dia memelukku, membiarkan kaus tangannya menggantung
di lengan mantelnya. Dan dia terisak.
Kini, bagianku untuk
menangis.
Menjadi anak berumur 14
tahun bukan halangan untuk menangis. Menahannya, tidak akan berhasil. Aku
bahkan tidak mendengarkan ketika ia menyebutkan negara mana yang akan ia tuju.
Percuma saja mengetahuinya, kan?
Sore itu juga, ia terbang
meninggalkan Prancis, meninggalkanku dan ceritaku yang kupikir sudah sampai
pada hilirnya. Aku menangis. Menyadari betapa aku sangat merasa memilikinya.
Alasan mengapa aku tidak berteman dengan siapapun sejak kembali ke Prancis
terjawab sudah.
***
Tidak ada lagi yang mengagumkan
dari Menara Eiffle selain besi-besi kokohnya. Salah satu warisan arsitektur
terbaik Notre Dame de Paris, juga tidak
lagi membuatku menganga seperti pertama kali melihatnya. Maka, memutuskan
kuliah di Jerman bukan hal terberat dalam hidupku.
Setelah orang tuaku
menerima surat pernyataan bahwa aku diterima oleh Goethe Institut, mereka
langsung meberikan izin kepadaku untuk segera berangkat. Kebetulan rumah kami
disana masih bisa dipakai.
Dan disini lah aku sore
ini. Berdiri diantara banyak orang di pelataran Brandenburger Tor. Pintu Berlin
yang terkenal, tetapi aku menganggapnya L’Arc De Triomphe versi Jerman. Empat
kuda tosca-nya masih bertengger diatas sana bersama kereta kudanya,
pilar-pilarnya juga masih sama. Masih semegah yang dulu. Karya seni yang sangat
ku kagumi.
Bangunan mirip Pantheon
milik Yunani disamping kanan-kirinya juga masih terlihat sama. Hanya saja kini
ukurannya seperti mengecil. Iya, aku terakhir kesana ketika umurku 13 tahun,
masih dengan mantel berwarna merah-ku. Tetapi semuanya masih terlihat
mengagumkan.
Koper-koper ku sudah
dikirim ke rumah, jadi aku tidak perlu bersusah payah mengurusnya. Sehingga aku
memutuskan untuk menikmati Brandenburger Tor sampai malam menjelang. Sendiri.
Tetapi ternyata seseorang menyapaku.
“Guten tag,” sapanya. Membuatku berjengit karena mengenal suara itu.
Sekelebat bayangan memenuhi otakku lagi, “Re...” aku menghentikan gumamanku.
Yakin bahwa orang itu tidak akan muncul disini.
Tetapi orang itu
menyanggah, “Ja. Renos disini,” katanya,
lalu tersenyum.
Aku terperangah. Wajahnya
tidak berubah, hanya saja wajah manisnya sudah hilang, beralih menjadi lebih
dewasa. “Wie geht es dir?” sebentuk
air mata menetes dari pipiku ketika aku menanyakannya.
“Sehr gut, danke,” ia menjawab, disertai senyumnya. “Setelah
mengetahui kau ternyata juga kesini,”. Tangisku makin kencang, meski tidak
terdengar oleh riuh-rendah manusia-manusia disekitar sini.
Aku melepas kaus tanganku,
lalu spontan memeluknya. Sebagai balasan atas pelukannya semasa kecil. Ia balas
memelukku erat, “Selamat datang di L’Arc De Triomphe versi Jerman, Reyna,”
katanya, “Maafkan soal versi aslinya,”. Meminta maaf soal kejadian waktu itu.
Kepalaku mengangguk. Dia
punya presepsi yang sama denganku soal L’Arc De Triomphe dan Brandenburger Tor. Bertemu
dengannya di bangunan yang sangat ku kagumi ini. Aku tahu, ceritaku belum
menemui hilirnya. Kuda-kuda tosca di puncak Brandenburger Tor sana juga tahu.
Renos, sumber dari nama Rhein dan Rhine, yang
berarti ‘arus yang tinggi’
AmaliaRo, 2013
the first love has no changed