Jumat, 10 Mei 2013

Sebuah Nama


             Kau tahu, Paris tidak seindah yang kau kira –tidak untuk ceritaku.
Jalanan Jardin du Luxembourg hanyalah jalanan Jardin du Luxembourg yang biasa orang-orang Prancis datangi pada akhir pekan, taman yang biasa saja. Bukan sesuatu menakjubkan yang biasanya adalah sebuah ekspresi kagum para turis-turis mancanegara. Tidak lagi sebuah jalan indah yang mengitari kolam dan rumpun-rumpun bunga pansy, atau tulip. 
Kolam oktagonal dan puluhan karya seni berupa patung memang masih berdiam disana. Tidak berubah, apalagi berpindah. Hanya saja, musim dan waktu yang cukup buruk membuatku membenci semua itu. Tidak, aku tidak pernah membenci karya seni. Aku bahkan penyuka karya seni. Tapi bukan karya seni di kota ini.
***
Aneh memang. Aku merasa sebagai orang Indonesia. Orang-orang pun memandangku begitu. Wajahku adalah bukti aku keturunan Asia, ditambah mata bulatku yang berwarna coklat tua, dan kulit kecoklatanku. Tapi aku hanya pernah menginjak negara tropis yang kaya itu selama sepuluh bulan. Dan itu bukan sepuluh bulan tahun lalu –sepuluh bulan bertahun-tahun yang lalu.
Umurku sepuluh bulan lebih sedikit ketika aku akhirnya direcoki bahasa Prancis. Lalu bahasa Jerman, 2 tahun kemudian. Ayahku mendapat beasiswa di Jerman, dan meski Prancis dan Jerman tidak jauh, bahkan beberapa bangunan mereka ada yang terlihat sama, ibuku memutuskan untuk mengikuti ayahku.
Secara resmi, aku pun memulai perjalananku di kota terbesar di Jerman, Berlin. Belajar menyanyikan Das Lied der Deutschen ketika aku memasuki sekolah dasar, lalu mengenal Beethoven, Mozart, Bach, atau Strauss bukan hanya dalam pelajaran musik, tapi juga dalam pelajaran Sejarah.
Aku juga berkenalan dengan seorang anak laki-laki. Dia adalah orang Indonesia, dan kau bisa menyimpulkan mengapa aku memilih berteman dengannya.
Sampai akhirnya dia menceritakan kepadaku mengenai Sungai Rhein. Ukuran 1320 km-nya, hutan pinus atau tebing yang berada disamping kiri-kanannya, dan kisahnya. Kisah seorang perempuan yang menyisir rambutnya yang membuat seisi kapal tenggelam.
Perempuan itu bukan pelakunya, semua orang tahu. Kapten kapal itu lah yang menyebabkan tragedi itu. Kapten kapal itu terpesona oleh perempuan yang sedang menyisir helaian rambutnya itu. Kurang lebih begitu alur yang kupahami ketika aku berumur 7 tahun. Legenda Loreley yang kemudian guru musikku mengajarkan alur nadanya.
“Apakah aku memang harus mendengar kisah itu?” tanyaku polos, kepada temanku itu.
Temanku itu tertawa, khas anak kecil. “Kau tinggal di Jerman cukup lama, kurasa kau harus tahu kisah itu,” ia beralasan.  
Setelah aku berumur 13 tahun dan kembali ke Prancis. Sejak saat itu aku berteman dengan buku dan internet. Aku baru mengetahui soal Jembatan Gembok Cinta di Sungai Rhein. Hal yang paling aneh yang kutahu saat umurku beranjak 13 tahun. Legenda Loreley adalah kisah yang menyedihkan, bukan? Tapi ribuan pasangan justru datang kesana, agar Sungai Rhein bisa menjadi saksi kisah mereka, lalu mendatangi Jembatan Hohenzollenbruecke untuk ‘menggembok’ cinta mereka.
Sebagai anak berumur 13 tahun, bagiku itu bukan hal yang harus ku kuasai. Hal yang menarik dari informasi yang kutangkap, Prancis memiliki Rhein yang lain. Sebenarnya bukan Rhein yang lain. Terusan Rhein di Prancis.
Namanya Rhine. Nama yang sebenarnya sama, orang Jerman menyebutnya Rhein, versi orang Prancis adalah Rhine.
Di Kastil Tua abad pertengahan di tepian Sungai Rhine itulah ceritaku tercipta hulunya. Umurku 14 tahun. Waktu yang sudah sangat lama untuk mengingat teman masa kecilku kan? Tetapi aku ternyata aku masih mengenali anak laki-laki kecil yang menceritakanku kisah Sungai Rhein, ketika akhirnya aku berkujung ke Sungai Rhine.
Ketika umurku 14 tahun, dan aku mendapat hadiah ulang tahun sebuah ‘sahabat’ dari orang tuaku. Nikon D700 yang segera menjadi bagian dari perjalananku. Aku menyukai fotografi dari sekian keahlian seni yang ada di dunia ini. Dan hal pertama yang ingin kuabadikan adalah Sunga Rhine.
Excusez-moi, Mademoiselle,” seseorang mencolek pundakku, dan aku reflek menurunkan kameraku, lalu berbalik. “Oui?” sahutku.
Seseorang anak laki-laki kira-kira seumuranku berdiri didepanku, membuat sekelebat bayangan masa lalu muncul di otakku. “Renos,” gumamku. Membuat laki-laki tadi berjengit. “Eh, kau menggumamkan nama sebuah tempat –atau seeorang?” tanyanya.
“Eh, tidak. Pardon. Ada yang bisa kubantu?” tanyaku balik. Saking gugupnya aku menjatuhkan tutup lensa kameraku. Laki-laki dihadapanku membantuku mengambilnya. Ia pun merunduk. Gerakan itu membuat sebentuk liontin keluar dari mantelnya.
Kali ini aku yakin. “Renos. Kau,” ujarku.
“Kau tahu namaku?” ia menunjuk dirinya sendiri. Kaget.  Aku mengangguk, mengangguk kepada laki-laki yang dulu menceritakanku mengenai bagian lain dari sungai disamping kami ini. Ia menatapku, mencari-cari nama yang pas untuk dia tebak, mungkin. Tetapi ternyata dia tidak akan menebak. Karena kemudian ia menemukannya, “Comment allez-vous, Reyna?” ucapnya.
Je vais bien,” jawabku. Entah mengapa aku merasa sangat senang.
“Bagaimana kau masih bisa mengenaliku?” tanyanya.
Aku tertawa, “Efek kisah Sungai Rhein, mungkin,” jawabku.
“Iya,” katanya, “Mungkin itu alasanku mengapa aku menceritakannya kepadamu,” ia mengangguk. Aku terdiam. Benarkah? Waktu harusnya sudah memakan itu semua. Seharusnya.
“Bagaimana kabar ayahmu? Ibumu? Sudah lama sekali aku tidak bertemu mereka,” katanya, tema obrolan kami seketika berganti. Aku memalingkan muka ke arah sungai, “Mereka baik. Baik sekali,” jawabku.
Satu jam kemudian, ia harus pergi. “Bisa kau beritahu sahabatmu ini, dimana rumahmu?” tanyanya. Aku memberinya kartu nama ayahku yang selalu kubawa kemanapun aku pergi. “Tidak
jauh dari L’Arc De Triomphe,” kataku. Ia tersenyum, “Berita bagus. Bagaimana jika lusa kita bertemu di bawah L’Arc De Triomphe? Naik bersama-sama kesana mungkin akan sangat menyenangkan,” katanya.
            Bermain bersama sahabat kecilku dulu bukan hal buruk, aku mengiyakan. “Jangan bawa pacarmu,” katanya, memperingatkan. “Kau ini mengejek atau apa, sih?” aku mendengus, “Aku tidak punya pacar,” tukasku.
            Ia tertawa. “Berita bagus nomor dua!” serunya, “Baiklah kalau begitu, sampai jumpa lusa sehabis sarapan di L’Arc De Triomphe!” ia melambaikan tangan. Aku membalas lambaian tangannya.
            Faktanya, aku dan dia belum pernah bersama-sama menuju L’Arc De Triomphe bersama-sama. Aku tidak sengaja bertemu dengannya di Jardin du Luxembourg esok harinya. Katanya, dia sedang dalam perjalanan menuju rumahku. Ada sesuatu yang harus kuketahui.
            Ia mengajakku duduk dibawah Patung Liberty di kompleks Jardin du Luxembourg. “Renos harus pergi,” ia berkata begitu dengan muka sedih khas anak laki-laki. Bukan itu yang membuatku sedih. Aku mengatakan hal yang sama ketika aku akan kembali ke Prancis.
            “Reyna harus pergi. Ke Prancis. Karena rumah Reyna disana,” kataku, waktu itu, ketika salju membuat pipi kami berdua memerah. Dia memelukku, membiarkan kaus tangannya menggantung di lengan mantelnya. Dan dia terisak.
            Kini, bagianku untuk menangis.
            Menjadi anak berumur 14 tahun bukan halangan untuk menangis. Menahannya, tidak akan berhasil. Aku bahkan tidak mendengarkan ketika ia menyebutkan negara mana yang akan ia tuju. Percuma saja mengetahuinya, kan?
            Sore itu juga, ia terbang meninggalkan Prancis, meninggalkanku dan ceritaku yang kupikir sudah sampai pada hilirnya. Aku menangis. Menyadari betapa aku sangat merasa memilikinya. Alasan mengapa aku tidak berteman dengan siapapun sejak kembali ke Prancis terjawab sudah.
***
            Tidak ada lagi yang mengagumkan dari Menara Eiffle selain besi-besi kokohnya. Salah satu warisan arsitektur terbaik Notre Dame de Paris, juga tidak lagi membuatku menganga seperti pertama kali melihatnya. Maka, memutuskan kuliah di Jerman bukan hal terberat dalam hidupku. 
            Setelah orang tuaku menerima surat pernyataan bahwa aku diterima oleh Goethe Institut, mereka langsung meberikan izin kepadaku untuk segera berangkat. Kebetulan rumah kami disana masih bisa dipakai.
            Dan disini lah aku sore ini. Berdiri diantara banyak orang di pelataran Brandenburger Tor. Pintu Berlin yang terkenal, tetapi aku menganggapnya L’Arc De Triomphe versi Jerman. Empat kuda tosca-nya masih bertengger diatas sana bersama kereta kudanya, pilar-pilarnya juga masih sama. Masih semegah yang dulu. Karya seni yang sangat ku kagumi.
            Bangunan mirip Pantheon milik Yunani disamping kanan-kirinya juga masih terlihat sama. Hanya saja kini ukurannya seperti mengecil. Iya, aku terakhir kesana ketika umurku 13 tahun, masih dengan mantel berwarna merah-ku. Tetapi semuanya masih terlihat mengagumkan.
            Koper-koper ku sudah dikirim ke rumah, jadi aku tidak perlu bersusah payah mengurusnya. Sehingga aku memutuskan untuk menikmati Brandenburger Tor sampai malam menjelang. Sendiri.
             Tetapi ternyata seseorang menyapaku.
            Guten tag,” sapanya. Membuatku berjengit karena mengenal suara itu. Sekelebat bayangan memenuhi otakku lagi, “Re...” aku menghentikan gumamanku. Yakin bahwa orang itu tidak akan muncul disini.
             Tetapi orang itu menyanggah, “Ja. Renos disini,” katanya, lalu tersenyum.
           Aku terperangah. Wajahnya tidak berubah, hanya saja wajah manisnya sudah hilang, beralih menjadi lebih dewasa. “Wie geht es dir?” sebentuk air mata menetes dari pipiku ketika aku menanyakannya.
            Sehr gut, danke,” ia menjawab, disertai senyumnya. “Setelah mengetahui kau ternyata juga kesini,”. Tangisku makin kencang, meski tidak terdengar oleh riuh-rendah manusia-manusia disekitar sini.
            Aku melepas kaus tanganku, lalu spontan memeluknya. Sebagai balasan atas pelukannya semasa kecil. Ia balas memelukku erat, “Selamat datang di L’Arc De Triomphe versi Jerman, Reyna,” katanya, “Maafkan soal versi aslinya,”. Meminta maaf soal kejadian waktu itu.
        Kepalaku mengangguk. Dia punya presepsi yang sama denganku soal L’Arc De Triomphe dan Brandenburger Tor. Bertemu dengannya di bangunan yang sangat ku kagumi ini. Aku tahu, ceritaku belum menemui hilirnya. Kuda-kuda tosca di puncak Brandenburger Tor sana juga tahu.
               Renos, sumber dari nama Rhein dan Rhine, yang berarti ‘arus yang tinggi’



 AmaliaRo, 2013
the first love has no changed

Senin, 06 Mei 2013

Athena, Poseidon, dan Aphrodite



             Pulang sekolah hari ini, aku pergi ke SMPku lagi. Aku berpapasan dengan Trisha, adik kelasku, dan mengatakan bahwa Adam dan Shanin ada di dekat sungai. Setelah mengucap terimakasih, aku lalu pergi ke ceruk dekat sungai yang dimaksud. Ternyata tidak hanya Adam dan Shanin, tetapi juga ada Adrian dan Ashila. “Hai!” seruku, sambil menyibakkan beberapa ranting pohon. Keempat temanku menoleh, “Amelisa!” seru mereka, lalu mengajakku bergabung.
            Kami mulai memasuki SMA duapuluhtiga hari yang lalu, tetapi sepertinya tidak mudah melupakan sekolah ini –terutama tempat ini. Hampir setiap hari, bergiliran kami datang ke ceruk dekat sungai. Sekadar untuk menyendiri, atau bernostalgia, atau tukar cerita, seperti hari ini.
            “Aku nggak bisa move on!” teriak Adam, tangannya mencabuti rumput dengan kasar. Aku, Shanin, dan Adrian tertawa, tetapi segera terhenti oleh perkataan Ashila. “Aku juga,” katanya, “Guruku di SMA lebih galak dari pada guru kita dulu, kalau mau tahu,” keluhnya.
            “Aku juga baru ketemu hukuman mengerikan sekarang ini di SMA,” aku menambahkan.
            “Bener,” gumam Shanin, “Kemarin aku disuruh cium tanah,”
            Adam menengok, “Apa?” tanyanya kaget.
            “Iya,” Shanin mengangguk, “Gara-gara terlambat sedikit waktu baris-berbaris. Di sangka nggak disiplin,” jelasnya.
            “Itu gila!” Ashila memekik.
            “Namanya juga SMA, tingkat yang lebih tinggi,” ujar Adrian. Adam lalu memasang air muka kaget, “Hah? Kamu bisa bijaksana?” sindirnya. “Dia hanya kemasukan dewi Athena, tenang aja, Dam,” komentar Shanin, lalu kami tertawa. Ada luapan kebahagiaan atas kebersamaan kami dalam tawa itu.
            “Belum terbiasa saja, mungkin,” ujar Shanin, “Lama-lama mungkin bakal senang,”
            Aku menggeleng, “Aku nggak yakin, Shan,” keluhku.
            Ashila mengangguk, “Susah, Shan. Lihat suasana belajarnya saja sudah kaget,” katanya.
            “Ada titik tertentu, dimana nanti kita bakal merasa senang,” kata Adrian, menghibur. Kami terdiam beberapa saat, sampai mataku menyipit terkena silau sinar keemasan. “Aku tidak bisa melihat pantulan sinar emas di sekolah SMAku,” kataku. Kami baru tersadar hari sudah menjelang sore ketika riak air sungai memantulkan sinar keemasan. “Sudah sore!” seru Adam, sambil bangun dari tempatnya. Aku dan yang lainnya mengikuti, meninggalkan rumput dan batu yang kami duduki.
            “Sampai besok!” Ashila pamit lebih dulu, “Ayo, Amelisa, Shanin,”. Aku dan Shanin mengikutinya, “Sampai besok!” seruku. Adam mengangkat tangannya, dan Adrian berseru, “Hati-hati!”

            Hari ini aku datang paling cepat, tetapi tak lama kemudian Adrian dan Shanin datang. Kami menyapa beberapa guru kami terlebih dulu, setelah itu kami menuju dekat sungai. Aku dan Shanin melepas sepatu, dan mencelupkan kaki di sungai, sementara Adrian tiduran dirumput.
            “Adam dan Ashila belum datang?” tanya Shanin. Aku menggeleng. “Mereka sudah move on, mungkin,” Adrian berseloroh, sambil memainkan rumput disekitar tangannya. Aku dan Shanin menertawakan gurauannya, sambil mencipratkan sedikit air ke arah Adrian yang langsung berteriak defensif.
            Move on bukan hal yang mudah bagi Adam dan Ashila, dan kami tahu itu. Sebentar kemudian terdengar seruan yang tidak asing lagi, “Halo!” seru Adam, dan Ashila, disertai langkah-langkah kaki mereka yang membuat hewan-hewan di rerumputan terbang meloncat ke segala arah.
            “Kita berlima lagi?” tanya Adam, sambil melepas ranselnya, lalu duduk. “Franda, Talitha, Renal, Adit, Vivaldi, Alan?” Ashilla menambahkan. Kami bertiga menggeleng, “Belum sempat,” jelas Shanin. Adam dan Ashilla mengangguk-angguk. Aku beringsut mendekat, “Eh, bagaimana sekolah kalian?” tanya kepada Adam dan Ashila, iseng.
            Adam merespon dengan dengusan, sementara Ashilla merengut. “Seperti biasa, hal yang nggak perlu dibahas, Amelisa,” jawabnya. Shanin menggeleng, “Nggak masalah, shil. Keluarkan saja unek-unekmu,” katanya, sambil bergabung bersama kami di rerumputan.
            Adrian mengiyakan ucapan Shanin, “Kita di sini acaranya adalah cerita dengan teman, kan?” tambah Adrian, lalu tersenyum ke arah Ashila.
            “Nggak,” aku menyahut spontan. Adrian menengok ke arahku dengan cepat, “Jadi kamu bukan temanku, Am?” tanyanya. Sebagai respon, aku menggeleng. “Terus?” tuntut Adrian, sambil melotot kerarahku. Seketika itu aku tertawa.
            “Sahabat,” kataku, di sela tawa, “Kita sahabat, kan?“ aku menegaskan.
           Shanin dan Ashila menepuk pundakku, sementara Adam melempar rumput ke arahku, “Cari perkara, Am!” katanya, yang segera kubalas dengan cengiran. Lalu kamu tertawa lagi. Adrian mengerang, mengumpat ucapanku, mungkin. Dia berhak marah untuk itu, karena kami berteman sejak sekolah dasar.
            Tiga tahun yang lalu aku memulai sekolah sebagai angkatan pertama di SMP ini, lalu lulus bersama-sama, bersama duapuluhdua temanku, tiga tahun kemudian. Membuatku terlalu mencintai mereka, juga tempat dimana aku selalu bersama mereka. Ceruk kecil yang indah ini, contohnya.
            Adrian mengambil kerikil, “Kita sahabat selamanya!” ucap Adrian, tangannya melempar kerikil ke tengah sungai. Mengirimkan doa. Aku mengamini. Kudengar Ashila dan Shanin mengucap amin, disertai tundunkan kepala Adam.
            Sore ini ditandai dengan pantulan sinar emas oleh air sungai. “Ayo pulang!” Adrian berdiri, “Besok kita sekolah!”. Adam mendengus mendengarnya, “Aku hampir memilih kedinginan di sini, ketimbang berangkat sekolah,” keluhnya. “Hei,” Shanin menepuk pundah Adam, “Aku juga. Tapi tidak ada pilihan lain, kan?”. Adam mengangguk enggan. “Jalani saja, Dam. Toh kita masih akan bertemu,” sahutku. Sahabatku itu kemudian tersenyum, “Di sini?” tanyanya.
            “Beres.” Adrian mengangguk, “Ashila? Nggak usah menangis!” Adrian beralih ke Ashila. Ashila tersenyum di sela air matanya. Aku merangkulnya. “Ayo!” Shanin berseru. Kami lalu berjalan pulang bersama.
            “Semoga kerikil tadi sampai di istana Poseidon,” gurau Shanin. Kami tertawa lagi, kali ini lebih lirih. Athena? Poseidon? Abaikan imajinasi Shanin kali ini. Kami sahabat, itu yang terpenting.
            Memiliki mereka, Shanin dan imajinasinya, Ashila yang mudah tersentuh, Adam dengan segala keanehannya, dan Adrian yang kini semakin bijaksana, serta delapanbelas orang lainnya, adalah yang terindah, dan aku tidak perlu memohon kepada Aphrodite untuk cinta yang satu ini.


amaliaro, 2013
the first love has no change