Pulang sekolah hari ini, aku pergi ke SMPku lagi. Aku berpapasan dengan
Trisha, adik kelasku, dan mengatakan bahwa Adam dan Shanin ada di dekat sungai.
Setelah mengucap terimakasih, aku lalu pergi ke ceruk dekat sungai yang
dimaksud. Ternyata tidak hanya Adam dan Shanin, tetapi juga ada Adrian dan
Ashila. “Hai!” seruku, sambil menyibakkan beberapa ranting pohon. Keempat
temanku menoleh, “Amelisa!” seru mereka, lalu mengajakku bergabung.
Kami mulai memasuki SMA
duapuluhtiga hari yang lalu, tetapi sepertinya tidak mudah melupakan sekolah
ini –terutama tempat ini. Hampir setiap hari, bergiliran kami datang ke ceruk
dekat sungai. Sekadar untuk menyendiri, atau bernostalgia, atau tukar cerita,
seperti hari ini.
“Aku nggak bisa move on!”
teriak Adam, tangannya mencabuti rumput dengan kasar. Aku, Shanin, dan Adrian
tertawa, tetapi segera terhenti oleh perkataan Ashila. “Aku juga,” katanya,
“Guruku di SMA lebih galak dari pada guru kita dulu, kalau mau tahu,” keluhnya.
“Aku juga baru ketemu
hukuman mengerikan sekarang ini di SMA,” aku menambahkan.
“Bener,” gumam Shanin,
“Kemarin aku disuruh cium tanah,”
Adam menengok, “Apa?”
tanyanya kaget.
“Iya,” Shanin mengangguk,
“Gara-gara terlambat sedikit waktu baris-berbaris. Di sangka nggak disiplin,”
jelasnya.
“Itu gila!” Ashila
memekik.
“Namanya juga SMA, tingkat
yang lebih tinggi,” ujar Adrian. Adam lalu memasang air muka kaget, “Hah? Kamu
bisa bijaksana?” sindirnya. “Dia hanya kemasukan dewi Athena, tenang aja, Dam,”
komentar Shanin, lalu kami tertawa. Ada luapan kebahagiaan atas kebersamaan
kami dalam tawa itu.
“Belum terbiasa saja,
mungkin,” ujar Shanin, “Lama-lama mungkin bakal senang,”
Aku menggeleng, “Aku nggak
yakin, Shan,” keluhku.
Ashila mengangguk, “Susah,
Shan. Lihat suasana belajarnya saja sudah kaget,” katanya.
“Ada titik tertentu,
dimana nanti kita bakal merasa senang,” kata Adrian, menghibur. Kami terdiam
beberapa saat, sampai mataku menyipit terkena silau sinar keemasan. “Aku tidak
bisa melihat pantulan sinar emas di sekolah SMAku,” kataku. Kami baru tersadar
hari sudah menjelang sore ketika riak air sungai memantulkan sinar keemasan.
“Sudah sore!” seru Adam, sambil bangun dari tempatnya. Aku dan yang lainnya
mengikuti, meninggalkan rumput dan batu yang kami duduki.
“Sampai besok!” Ashila
pamit lebih dulu, “Ayo, Amelisa, Shanin,”. Aku dan Shanin mengikutinya, “Sampai
besok!” seruku. Adam mengangkat tangannya, dan Adrian berseru, “Hati-hati!”
Hari ini aku datang paling
cepat, tetapi tak lama kemudian Adrian dan Shanin datang. Kami menyapa beberapa
guru kami terlebih dulu, setelah itu kami menuju dekat sungai. Aku dan Shanin
melepas sepatu, dan mencelupkan kaki di sungai, sementara Adrian tiduran
dirumput.
“Adam dan Ashila belum
datang?” tanya Shanin. Aku menggeleng. “Mereka sudah move on, mungkin,” Adrian
berseloroh, sambil memainkan rumput disekitar tangannya. Aku dan Shanin
menertawakan gurauannya, sambil mencipratkan sedikit air ke arah Adrian yang
langsung berteriak defensif.
Move on bukan hal yang
mudah bagi Adam dan Ashila, dan kami tahu itu. Sebentar kemudian terdengar
seruan yang tidak asing lagi, “Halo!” seru Adam, dan Ashila, disertai
langkah-langkah kaki mereka yang membuat hewan-hewan di rerumputan terbang
meloncat ke segala arah.
“Kita berlima lagi?” tanya
Adam, sambil melepas ranselnya, lalu duduk. “Franda, Talitha, Renal, Adit,
Vivaldi, Alan?” Ashilla menambahkan. Kami bertiga menggeleng, “Belum sempat,”
jelas Shanin. Adam dan Ashilla mengangguk-angguk. Aku beringsut mendekat, “Eh,
bagaimana sekolah kalian?” tanya kepada Adam dan Ashila, iseng.
Adam merespon dengan
dengusan, sementara Ashilla merengut. “Seperti biasa, hal yang nggak perlu
dibahas, Amelisa,” jawabnya. Shanin menggeleng, “Nggak masalah, shil. Keluarkan
saja unek-unekmu,” katanya, sambil bergabung bersama kami di rerumputan.
Adrian mengiyakan ucapan
Shanin, “Kita di sini acaranya adalah cerita dengan teman, kan?” tambah Adrian,
lalu tersenyum ke arah Ashila.
“Nggak,” aku menyahut
spontan. Adrian menengok ke arahku dengan cepat, “Jadi kamu bukan temanku, Am?”
tanyanya. Sebagai respon, aku menggeleng. “Terus?” tuntut Adrian, sambil
melotot kerarahku. Seketika itu aku tertawa.
“Sahabat,” kataku, di sela
tawa, “Kita sahabat, kan?“ aku menegaskan.
Shanin dan Ashila menepuk
pundakku, sementara Adam melempar rumput ke arahku, “Cari perkara, Am!”
katanya, yang segera kubalas dengan cengiran. Lalu kamu tertawa lagi. Adrian
mengerang, mengumpat ucapanku, mungkin. Dia berhak marah untuk itu, karena kami
berteman sejak sekolah dasar.
Tiga tahun yang lalu aku
memulai sekolah sebagai angkatan pertama di SMP ini, lalu lulus bersama-sama,
bersama duapuluhdua temanku, tiga tahun kemudian. Membuatku terlalu mencintai
mereka, juga tempat dimana aku selalu bersama mereka. Ceruk kecil yang indah
ini, contohnya.
Adrian mengambil kerikil,
“Kita sahabat selamanya!” ucap Adrian, tangannya melempar kerikil ke tengah
sungai. Mengirimkan doa. Aku mengamini. Kudengar Ashila dan Shanin mengucap
amin, disertai tundunkan kepala Adam.
Sore ini ditandai dengan
pantulan sinar emas oleh air sungai. “Ayo pulang!” Adrian berdiri, “Besok kita
sekolah!”. Adam mendengus mendengarnya, “Aku hampir memilih kedinginan di sini,
ketimbang berangkat sekolah,” keluhnya. “Hei,” Shanin menepuk pundah Adam, “Aku
juga. Tapi tidak ada pilihan lain, kan?”. Adam mengangguk enggan. “Jalani saja,
Dam. Toh kita masih akan bertemu,” sahutku. Sahabatku itu kemudian tersenyum,
“Di sini?” tanyanya.
“Beres.” Adrian
mengangguk, “Ashila? Nggak usah menangis!” Adrian beralih ke Ashila. Ashila
tersenyum di sela air matanya. Aku merangkulnya. “Ayo!” Shanin berseru. Kami
lalu berjalan pulang bersama.
“Semoga kerikil tadi
sampai di istana Poseidon,” gurau Shanin. Kami tertawa lagi, kali ini lebih
lirih. Athena? Poseidon? Abaikan imajinasi Shanin kali ini. Kami sahabat, itu
yang terpenting.
Memiliki mereka, Shanin
dan imajinasinya, Ashila yang mudah tersentuh, Adam dengan segala keanehannya,
dan Adrian yang kini semakin bijaksana, serta delapanbelas orang lainnya,
adalah yang terindah, dan aku tidak perlu memohon kepada Aphrodite untuk cinta
yang satu ini.
amaliaro, 2013
the first love has no change
0 komentar:
Posting Komentar