Senin, 06 Mei 2013

Athena, Poseidon, dan Aphrodite



             Pulang sekolah hari ini, aku pergi ke SMPku lagi. Aku berpapasan dengan Trisha, adik kelasku, dan mengatakan bahwa Adam dan Shanin ada di dekat sungai. Setelah mengucap terimakasih, aku lalu pergi ke ceruk dekat sungai yang dimaksud. Ternyata tidak hanya Adam dan Shanin, tetapi juga ada Adrian dan Ashila. “Hai!” seruku, sambil menyibakkan beberapa ranting pohon. Keempat temanku menoleh, “Amelisa!” seru mereka, lalu mengajakku bergabung.
            Kami mulai memasuki SMA duapuluhtiga hari yang lalu, tetapi sepertinya tidak mudah melupakan sekolah ini –terutama tempat ini. Hampir setiap hari, bergiliran kami datang ke ceruk dekat sungai. Sekadar untuk menyendiri, atau bernostalgia, atau tukar cerita, seperti hari ini.
            “Aku nggak bisa move on!” teriak Adam, tangannya mencabuti rumput dengan kasar. Aku, Shanin, dan Adrian tertawa, tetapi segera terhenti oleh perkataan Ashila. “Aku juga,” katanya, “Guruku di SMA lebih galak dari pada guru kita dulu, kalau mau tahu,” keluhnya.
            “Aku juga baru ketemu hukuman mengerikan sekarang ini di SMA,” aku menambahkan.
            “Bener,” gumam Shanin, “Kemarin aku disuruh cium tanah,”
            Adam menengok, “Apa?” tanyanya kaget.
            “Iya,” Shanin mengangguk, “Gara-gara terlambat sedikit waktu baris-berbaris. Di sangka nggak disiplin,” jelasnya.
            “Itu gila!” Ashila memekik.
            “Namanya juga SMA, tingkat yang lebih tinggi,” ujar Adrian. Adam lalu memasang air muka kaget, “Hah? Kamu bisa bijaksana?” sindirnya. “Dia hanya kemasukan dewi Athena, tenang aja, Dam,” komentar Shanin, lalu kami tertawa. Ada luapan kebahagiaan atas kebersamaan kami dalam tawa itu.
            “Belum terbiasa saja, mungkin,” ujar Shanin, “Lama-lama mungkin bakal senang,”
            Aku menggeleng, “Aku nggak yakin, Shan,” keluhku.
            Ashila mengangguk, “Susah, Shan. Lihat suasana belajarnya saja sudah kaget,” katanya.
            “Ada titik tertentu, dimana nanti kita bakal merasa senang,” kata Adrian, menghibur. Kami terdiam beberapa saat, sampai mataku menyipit terkena silau sinar keemasan. “Aku tidak bisa melihat pantulan sinar emas di sekolah SMAku,” kataku. Kami baru tersadar hari sudah menjelang sore ketika riak air sungai memantulkan sinar keemasan. “Sudah sore!” seru Adam, sambil bangun dari tempatnya. Aku dan yang lainnya mengikuti, meninggalkan rumput dan batu yang kami duduki.
            “Sampai besok!” Ashila pamit lebih dulu, “Ayo, Amelisa, Shanin,”. Aku dan Shanin mengikutinya, “Sampai besok!” seruku. Adam mengangkat tangannya, dan Adrian berseru, “Hati-hati!”

            Hari ini aku datang paling cepat, tetapi tak lama kemudian Adrian dan Shanin datang. Kami menyapa beberapa guru kami terlebih dulu, setelah itu kami menuju dekat sungai. Aku dan Shanin melepas sepatu, dan mencelupkan kaki di sungai, sementara Adrian tiduran dirumput.
            “Adam dan Ashila belum datang?” tanya Shanin. Aku menggeleng. “Mereka sudah move on, mungkin,” Adrian berseloroh, sambil memainkan rumput disekitar tangannya. Aku dan Shanin menertawakan gurauannya, sambil mencipratkan sedikit air ke arah Adrian yang langsung berteriak defensif.
            Move on bukan hal yang mudah bagi Adam dan Ashila, dan kami tahu itu. Sebentar kemudian terdengar seruan yang tidak asing lagi, “Halo!” seru Adam, dan Ashila, disertai langkah-langkah kaki mereka yang membuat hewan-hewan di rerumputan terbang meloncat ke segala arah.
            “Kita berlima lagi?” tanya Adam, sambil melepas ranselnya, lalu duduk. “Franda, Talitha, Renal, Adit, Vivaldi, Alan?” Ashilla menambahkan. Kami bertiga menggeleng, “Belum sempat,” jelas Shanin. Adam dan Ashilla mengangguk-angguk. Aku beringsut mendekat, “Eh, bagaimana sekolah kalian?” tanya kepada Adam dan Ashila, iseng.
            Adam merespon dengan dengusan, sementara Ashilla merengut. “Seperti biasa, hal yang nggak perlu dibahas, Amelisa,” jawabnya. Shanin menggeleng, “Nggak masalah, shil. Keluarkan saja unek-unekmu,” katanya, sambil bergabung bersama kami di rerumputan.
            Adrian mengiyakan ucapan Shanin, “Kita di sini acaranya adalah cerita dengan teman, kan?” tambah Adrian, lalu tersenyum ke arah Ashila.
            “Nggak,” aku menyahut spontan. Adrian menengok ke arahku dengan cepat, “Jadi kamu bukan temanku, Am?” tanyanya. Sebagai respon, aku menggeleng. “Terus?” tuntut Adrian, sambil melotot kerarahku. Seketika itu aku tertawa.
            “Sahabat,” kataku, di sela tawa, “Kita sahabat, kan?“ aku menegaskan.
           Shanin dan Ashila menepuk pundakku, sementara Adam melempar rumput ke arahku, “Cari perkara, Am!” katanya, yang segera kubalas dengan cengiran. Lalu kamu tertawa lagi. Adrian mengerang, mengumpat ucapanku, mungkin. Dia berhak marah untuk itu, karena kami berteman sejak sekolah dasar.
            Tiga tahun yang lalu aku memulai sekolah sebagai angkatan pertama di SMP ini, lalu lulus bersama-sama, bersama duapuluhdua temanku, tiga tahun kemudian. Membuatku terlalu mencintai mereka, juga tempat dimana aku selalu bersama mereka. Ceruk kecil yang indah ini, contohnya.
            Adrian mengambil kerikil, “Kita sahabat selamanya!” ucap Adrian, tangannya melempar kerikil ke tengah sungai. Mengirimkan doa. Aku mengamini. Kudengar Ashila dan Shanin mengucap amin, disertai tundunkan kepala Adam.
            Sore ini ditandai dengan pantulan sinar emas oleh air sungai. “Ayo pulang!” Adrian berdiri, “Besok kita sekolah!”. Adam mendengus mendengarnya, “Aku hampir memilih kedinginan di sini, ketimbang berangkat sekolah,” keluhnya. “Hei,” Shanin menepuk pundah Adam, “Aku juga. Tapi tidak ada pilihan lain, kan?”. Adam mengangguk enggan. “Jalani saja, Dam. Toh kita masih akan bertemu,” sahutku. Sahabatku itu kemudian tersenyum, “Di sini?” tanyanya.
            “Beres.” Adrian mengangguk, “Ashila? Nggak usah menangis!” Adrian beralih ke Ashila. Ashila tersenyum di sela air matanya. Aku merangkulnya. “Ayo!” Shanin berseru. Kami lalu berjalan pulang bersama.
            “Semoga kerikil tadi sampai di istana Poseidon,” gurau Shanin. Kami tertawa lagi, kali ini lebih lirih. Athena? Poseidon? Abaikan imajinasi Shanin kali ini. Kami sahabat, itu yang terpenting.
            Memiliki mereka, Shanin dan imajinasinya, Ashila yang mudah tersentuh, Adam dengan segala keanehannya, dan Adrian yang kini semakin bijaksana, serta delapanbelas orang lainnya, adalah yang terindah, dan aku tidak perlu memohon kepada Aphrodite untuk cinta yang satu ini.


amaliaro, 2013
the first love has no change

0 komentar:

Posting Komentar