Sabtu, 02 April 2016

Di Sini Saja

Suatu saat nanti
Bila akhirnya turun dari langit,
Karunia bernafas dalam air itu,
aku ingin hidup dalam laut saja
Aku ingin berenang bebas,
terus ke dalam saat sedih
dan menepi jika ingin
Tapi aku tidak ingin jadi putri duyung
Meski menawan seperti Aphrodite,
aku akan merindukan kaki-kakiku
Kaki-kaki yang pernah membawaku
pergi menikmati lembutnya rerumputan
menyisir pantai menikmati mentari
dan mengantarnya hingga menghilang di cakrawala
Aku akan merindukan sinar matahari juga
Yang sinarnya memantul di gejolak air
Mengirimkan sinar baru berwarna keemasan
Sinar yang menciptakan rasa
Aku akan merindukan rasa itu,
mentari itu,
kaki-kaki itu,
rumput itu,
Maka aku akan di sini saja,
menikmati biru sekaligus hijau dari tepian








Kamis, 31 Maret 2016

Rabu, 30 Maret 2016

Di Bawah Lampu Kota

Hujan turun disela senja yang merayap. Lampu kota berwarna jingga memantulkan genangan air di jalanan. Genangan air itu membuatku harus berputar ke sisi jalan yang lain untuk melanjutkan perjalanan.
Saat itulah aku menemukanmu berjalan dibawah langit senja.
Matamu tersenyum menatapku, sudah terlambat untukku bersembunyi. Mata yang selalu berhasil menangkapku. Di bawah pantulan sinar lampu, mata itu tetap teduh seperti biasanya.


Kau menyapa. Aku tersenyum. Lalu tidak tahu harus apa.
Aku membalas. Kau tersenyum. Lalu pamit pergi.


Langkahmu menjauh, menyisakan punggung untuk kurenungi. Setelah kembang api itu berhenti meledak-ledak, aku melanjutkan perjalananku. Kembali menyusuri jalan di bawah langit temaram ditemani angin sore yang gagal meluruhkan rindu.
Setelah kakiku membelok di tikungan selanjutnya, aku berhenti, merasakan sepoi angin dan daun yang gugur. Kemudian air mata.


Aku menangis.
Atas segala rasa yang tidak bisa kugambarkan dengan kata.






Kamis, 24 Maret 2016

Membiru

Broken heart, brand new post.

Saya baru saja patah hati. Pecah. Remuk untuk lebih tepatnya. Patah hati yang biasa orang-orang rasakan. Patah hati yang melenyapkan rasa bahagia dan aman dalam seketika. Patah hati yang menuntun kita pada suatu titik dimana kita lebih baik menyendiri dulu, melebur dengan buih ombak, dan membiarkan angin menerbangkan rasa itu.

Ada waktu-waktu dimana pemikiran kita ditaruhkan, dan otak mulai berusaha merangkai fakta-fakta. Kata-kata keluar dari mulut-mulut yang ingin mengemukakan gagasan pada dunia, berharap bisa mengubah suatu kegelapan menjadi setidaknya abu-abu. Manusia adalah makhluk yang berbahagia bila mendapatkan kesempatan untuk melakukannya. Manusia adalah satu-satunya makhluk yang paling kompeten untuk membahasnya. Dan manusia juga yang mejadi penyebab dimulai hal-hal tersebut. Saya juga berbahagia melakukannya, untuk meyakinkan bahwa saya juga manusia. Tapi ketika perasaan menjelma sebagai angin topan yang dalam satu sapuan menghancurkan segalanya, manusia-manusia yang berbahagia tadi, sekarang bertatap dengan sengit. Ada getaran-getaran emosi dalam setiap kata yang keluar. Tanggapan, sekarang adalah serangan balik. 
Ketika perisai kita tidak lagi kuat menahan serangan, atau anak panah kita habis, lawan akan melancarkan serangan pamungkas : sederet kata-kata menyalahkan ditemani seringaian sinis tanpa tenggang rasa. Memuakkan.

Pertahanan berhasil ditembus. Lawan terlalu sombong untuk menerima jabatan tangan tanda selamat dari kita, dan kemudian dalam euforia kemenangan itu mereka mengumumkan pada dunia bahwa kita adalah pecundang. Saya menahan amarah, saya duduk, dan saya patah hati. Orang-orang masih melempar guyonan, yang di telinga saya sama sekali tidak lucu. Saya tertawa, sama dengan yang lainnya, hanya dengan tujuan yang berbeda. Maka yang kemudian saya lakukan adalah pulang ke rumah, menulis, dan memasak mi rebus panas.

Sebentar, saya merebus me instan dulu

Seandainya saya ini betulah keturunan Poseidon sang dewa laut, saya pasti bisa duduk di kedalaman air, dan menetap disana semalaman hingga hati saya sembuh. Air bisa menyembuhkan. Ia biru, arus lembutnya menenangkan, dan deburnya melenakan.
Maka, besok saat saya memilih pakaian untuk pergi beraktifitas, saya akan pastikan saya memakai warna biru. Warna yang sama dengan air yang bisa menyembuhkan. 
                                                                                                                    
                                                                                                                                       -A

Sabtu, 19 Maret 2016

Sabtu, 22 Februari 2014

Percakapan

     "Reyna, you should attend this reunion!" Jovanka menekankan kata 'should'. Ia berbicara lewat telefon, sejak sekitar sepuluh menit yang lalu. "Tidak, ku ubah, kamu wajib datang!" Jovanka meralat ucapannya. "Oke, aku usahakan," akhirnya aku mengakhiri pembicaraan kami. Jov terdengar lega, lalu ia memutus sambungan telefon.
     Aku meletakkan handphone di samping laptopku, lalu melirik timeline twitterku yang sebagiannya masih diisi tweet-tweet dari Rivanna untukku. Memastikan bahwa aku akan menampakkan batang hidungku besok sore.
    Sepertinya aku memang harus menghadiri acara besok sore. Setelah kuingat-ingat, sudah dua kali undangan reuni yang ku 'tolak'. Prom night sekaligus farewel party angkatan tepat dibawahku, lalu reuni rutin beberapa minggu lalu. Aku sebetulnya sudah merindukan teman-temanku, terutama Jov dan Rivanna, dua sahabatku sejak kecil.
     Tapi bertemu seseorang yang kini adalah stranger with lots of memories apakah akan semudah mengingatnya? Aku melirik kalender, dan melihat sebuah angka tanggal besok, yang ternyata sudah memuat lingkaran merah yang ku coret bertahun lalu. Hari ulang tahunnya.
     Aku mengerang. What should I do, now?

    Jovanka mengetuk pintu rumahku beberapa menit yang lalu, dan kini atas izin ibu dia berdiri didepan kamarku, menungguku keluar dengan sabar. Ia memelukku, tak peduli bentuk keadaanku kali ini. "Aku mandi dulu," ucapku, lalu menyiapkan diri. "Cepat ya, Rivanna datang sebentar lagi," responnya.
     Setelah aku bersiap, Rivanna datang dan langsung memeluk kami bergantian. "Reyna! Akhirnya aku menemukanmu!" serunya, dramatis. Kami lalu berpamitan kepada ibu, dan segera berangkat.
    "Jov, Renos ulang tahun hari ini, ya?" tanya Rivanna.
    Jov mengangguk, "Iya!" jawabnya riang.
    Aku tersenyum samar. "Kasih hadiah apa Jov, Rey?" Rivanna bertanya lagi. "Kamu harusnya bawa salah satu fotomu, Reyna. Dia pasti senang," kata Jov. "Hadiah sudah disiapkan teman-teman kita yang lain," ia melanjutkan. Aku tidak membuka mulut. Seandainya ini setahun yang lalu, semua akan terasa mudah.

     "Hey, trio!" Kamia dan Franda menyambut kami. "How have you been?" tanya Kamia. Kami menjawab singkat, dan mereka berdua menyuruh kami bergabung dengan yang lain. Dan seperti yang kuduga, teman-teman menanyai kabarku seolah aku baru saja pulang dari keliling dunia, dan beberapa bulan hilang di hutan Amazon. 
     Kami menikmati kudapan yang disediakan, menonton video masa lalu kami, lalu membagi kisah-kisah perjalanan kami masing-masing. Setelah itu, acara yang ingin sekali kuhindari.
     Talia membawa sebuah kue tart dengan lilin ke meja, lalu teman laki-lakiku mendorong Renos ke dekat kue, dan mulai menyanyikan lagu ucapan selamat ulang tahun. Laviana memberikan sekotak hadiah, dan tiba giliran kami mengucapkan selamat satu persatu. Kepada Renos. Rivanna dan Jov menyeretku masuk ke barisan, walaupun sebenarnya aku tidak ingin. Apa yang harus aku katakan?
     Apakah dia ingat aku? Apa yang harus aku ucapkan? Sekarang giliranku. Aku mengumpat dalam hati. "Hey," aku menyapa. Air muka Renos berubah kaget, tetapi hanya sesaat. Guratan wajahnya membentuk sebuah senyum, senyum yang dulu. Membuat matanya terlihat sayu. Aku membalas senyumnya.
     Ia masih ingat aku. Matanya berkata begitu.
     "Selamat 17 tahun," ucapku. Hanya itu.
     "Thankyou, Reyna," ia memuat namaku dalam kalimatnya.
   Pada akhirnya, hanya dua kalimat itu yang bisa disebut sebagai 'percakapan'. Setidaknya semua itu menyatakan bahwa kami masih baik-baik saja. 


August, 7, 2013
Amalia Rosyid

    

Sabtu, 07 September 2013

Like I Used to Think

     Aku tidak percaya dengan kebetulan. Semua sudah diatur, itu yang kupercaya. Semua. Semua yang tercipta didunia ini sudah diatur. Tidak ada teori yang menyatakan bahwa 'Saat tata surya terbentuk, kebetulan bumi sedang lewat, dan bergabung dengan tata surya tersebut,'. Kebetulan buku itu masih ada, kebetulan kau berjalan didepanku, dan kebetulan-kebetulan yang lain. Tentusaja saat kau lewat didepanku, semua sudah diatur, sehingga kita bertemu, dan berkenalan. Itu yang ku tahu.
    Seperti saat aku kecewa ketika Shanin gagal masuk di sekolah yang sama denganku. Aku ingin protes kepada petinggi negara saat itu juga. Tentang paradigma pendidikan negara kita ini yang tidak dapat ku mengerti. Kebetulan sekali aku tinggal di negara ini? Tidak.
    Aku tetap tinggal dan melanjutkan perjalananku di sekolah ini. Aku rindu bertukar cerita bersama Shanin. Mengisi buku catatan dengan kata-kata inspiratifnya, atau sekedar menulis impian masa depan. Menemukan teman yang periang dan cantik seperti dia? Banyak sekali. Tetapi tidak ada berpola pikir seperti dia. Yang mempunyai kesamaan hobi menulis, meski aku tidak sehebat Shanin. Ia tidak pernah mengatakannya.
   
     Kulihat Shanin masuk ke gedung reuni. Kami semua sedang berada disini, bertukar cerita mengenai sekolah baru kami masing-masing. "Alda!" panggilnya. Aku berdiri, "Shan!" sahutku, ia kemudian mendekat. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya. "Aku cukup baik, majalahku terbit bulan depan, dan pasti ku kirimkan untukmu," jawabku. Kami tertawa sejenak, "Kamu?" tanyaku, sambil bersiap-siap mendengar kejutannya.
    "Beberapa cerpenku masuk di anotologi cerpen sekolah. Bulan depan aku akan terbang ke Paris, duta bahasa perwakilan dari Jogja," ujarnya.
    "Like I used to think, about you. Great!" seruku, ikut berbahagia. Ia tersenyum. Kami lalu mengambil kudapan, dan berlanjut ke obrolan selanjutnya.
    Aku sudah mendengar anotologi cerpennya. Aku tahu dari temanku yang kebetulan, maksudku, garis takdirnya satu sekolah dengan Shanin. Mereka punya klub sastra yang bagus. Jaringannya luas, dan sudah diakui di lingkup negara.
    Diam-diam aku mengeluarkan sebuah novel dengan cover berwarna gading. Foto yang melengkapi sampul itu berupa foto pantai yang diambil dengan efek retro, serta sebuah judul yang simple, Percik. Kalian tahu, itu novel pertama Shanin yang terbit beberapa waktu lalu. "Tanda tangan disini, jangan kupa beri sedikit kata-kata inspiratif," kataku. Tanganku mengambil bolpoint dan mengulurkan dua barang itu kehadapannya. 
    Ia tersenyum kaget. Aku ikut tersenyum ketika ia meraih dua barang itu. Tangannya meliukkan bolpoint, membentuk sebuah tandatangan yang tidak asing bagiku, lalu beberapa kalimat. Setelah itu ia menutup sampulnya, dan mengembalikan kepadaku.
    Aku membukanya. Menemukan sebait kalimat dari Shanin.
    'Ada keteraturan di setiap tangkai pohon yang tumbuh acak
    aku, kamu, dan mereka ada di sini karena menuruti sesuatu yang telah di atur'
    Aku tercenung sebentar, lalu mengangkat kepala, "You're right, thankyou," ujarku. Shanin tersenyum. Membuatku yakin akan ketidak percayaanku dengan kebetulan. Shanin tidak kebetulan tidak diterima disekolahku.
     Semua terjadi karena jalan takdir yang telah diatur. Bukan kebetulan Shanin memutuskan ke sekolah itu karena ia tidak diterima disekolahku. Tapi sekolah itu sudah diatur sehingga Shanin berada disana. Bersama bakatnya yang berkembang bagus disana.
    Aku yakin, dia tidak akan sehebat itu bila tetapi di sini bersamaku. Dia tidak akan terbang ke Paris bulan depan, ia tidak akan menerbitkan buku. She's been on where she suppose to be. Bukan karenas kebetulan


30 menit di 29 November 2012
Selamat 16 tahun, Salma Aulia Khosibah
no doubt, you've been inspiring me a lots
writer like me only can say trough the words