Sabtu, 07 September 2013

Like I Used to Think

     Aku tidak percaya dengan kebetulan. Semua sudah diatur, itu yang kupercaya. Semua. Semua yang tercipta didunia ini sudah diatur. Tidak ada teori yang menyatakan bahwa 'Saat tata surya terbentuk, kebetulan bumi sedang lewat, dan bergabung dengan tata surya tersebut,'. Kebetulan buku itu masih ada, kebetulan kau berjalan didepanku, dan kebetulan-kebetulan yang lain. Tentusaja saat kau lewat didepanku, semua sudah diatur, sehingga kita bertemu, dan berkenalan. Itu yang ku tahu.
    Seperti saat aku kecewa ketika Shanin gagal masuk di sekolah yang sama denganku. Aku ingin protes kepada petinggi negara saat itu juga. Tentang paradigma pendidikan negara kita ini yang tidak dapat ku mengerti. Kebetulan sekali aku tinggal di negara ini? Tidak.
    Aku tetap tinggal dan melanjutkan perjalananku di sekolah ini. Aku rindu bertukar cerita bersama Shanin. Mengisi buku catatan dengan kata-kata inspiratifnya, atau sekedar menulis impian masa depan. Menemukan teman yang periang dan cantik seperti dia? Banyak sekali. Tetapi tidak ada berpola pikir seperti dia. Yang mempunyai kesamaan hobi menulis, meski aku tidak sehebat Shanin. Ia tidak pernah mengatakannya.
   
     Kulihat Shanin masuk ke gedung reuni. Kami semua sedang berada disini, bertukar cerita mengenai sekolah baru kami masing-masing. "Alda!" panggilnya. Aku berdiri, "Shan!" sahutku, ia kemudian mendekat. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya. "Aku cukup baik, majalahku terbit bulan depan, dan pasti ku kirimkan untukmu," jawabku. Kami tertawa sejenak, "Kamu?" tanyaku, sambil bersiap-siap mendengar kejutannya.
    "Beberapa cerpenku masuk di anotologi cerpen sekolah. Bulan depan aku akan terbang ke Paris, duta bahasa perwakilan dari Jogja," ujarnya.
    "Like I used to think, about you. Great!" seruku, ikut berbahagia. Ia tersenyum. Kami lalu mengambil kudapan, dan berlanjut ke obrolan selanjutnya.
    Aku sudah mendengar anotologi cerpennya. Aku tahu dari temanku yang kebetulan, maksudku, garis takdirnya satu sekolah dengan Shanin. Mereka punya klub sastra yang bagus. Jaringannya luas, dan sudah diakui di lingkup negara.
    Diam-diam aku mengeluarkan sebuah novel dengan cover berwarna gading. Foto yang melengkapi sampul itu berupa foto pantai yang diambil dengan efek retro, serta sebuah judul yang simple, Percik. Kalian tahu, itu novel pertama Shanin yang terbit beberapa waktu lalu. "Tanda tangan disini, jangan kupa beri sedikit kata-kata inspiratif," kataku. Tanganku mengambil bolpoint dan mengulurkan dua barang itu kehadapannya. 
    Ia tersenyum kaget. Aku ikut tersenyum ketika ia meraih dua barang itu. Tangannya meliukkan bolpoint, membentuk sebuah tandatangan yang tidak asing bagiku, lalu beberapa kalimat. Setelah itu ia menutup sampulnya, dan mengembalikan kepadaku.
    Aku membukanya. Menemukan sebait kalimat dari Shanin.
    'Ada keteraturan di setiap tangkai pohon yang tumbuh acak
    aku, kamu, dan mereka ada di sini karena menuruti sesuatu yang telah di atur'
    Aku tercenung sebentar, lalu mengangkat kepala, "You're right, thankyou," ujarku. Shanin tersenyum. Membuatku yakin akan ketidak percayaanku dengan kebetulan. Shanin tidak kebetulan tidak diterima disekolahku.
     Semua terjadi karena jalan takdir yang telah diatur. Bukan kebetulan Shanin memutuskan ke sekolah itu karena ia tidak diterima disekolahku. Tapi sekolah itu sudah diatur sehingga Shanin berada disana. Bersama bakatnya yang berkembang bagus disana.
    Aku yakin, dia tidak akan sehebat itu bila tetapi di sini bersamaku. Dia tidak akan terbang ke Paris bulan depan, ia tidak akan menerbitkan buku. She's been on where she suppose to be. Bukan karenas kebetulan


30 menit di 29 November 2012
Selamat 16 tahun, Salma Aulia Khosibah
no doubt, you've been inspiring me a lots
writer like me only can say trough the words

0 komentar:

Posting Komentar