Bukan, aku bukan pemuja hujan –hanya saja, aku terinsiprasi olehnya.
Hujan turun lagi. Langit kembali menangis. Sesaat setelah aku sampai
di halte depan sekolah. Ini bulan Oktober, dan memang seharusnya hujan
turun. Membasahi jalanan Malioboro, atau rerumputan di Alun-alun Utara. Beberapa pejalan kaki yang masih menikmati perjalanannya terpaksa
buru-buru mencari tepat yang teduh. Sementara serumpun kle di seberang
kuyakin sedang merayakan kemakmuran mereka. Menari ditengah rintik
hujan.
Aku mengangkat tanganku lagi. Lalu mendorongnya melewati atap. Air
hujan yang sedang turun menyapa telapak tanganku. Dingin. Aku menarik
tanganku kembali, lalu berusaha mengeringkannya. Kedua telapak tangan
kusatukan, dan mulai kugerakkan. Mencari sedikit kehangatan. Hidungku
mencium wangi rumput dan jalanan yang tersiram air hujan.
Entah, hujan spertinya tidak pernah bersahabat denganku. Ia selalu
datang di saat-saat yang tidak memungkinkan seperti ini. Seperti saat
ini; ketika aku sedang berada di halte, menunggu bus yang akan
mengantarkanku pulang.
Mantel yang kupakai rupanya bukan barang yang efektif untuk meredam
dingin. Bukan karena air yang turun. Mungkin karena angin yang terus
berhembus mengirinya tetesan air yang terjun bebas ke jalanan aspal
didepanku.
Tiba-tiba bau alami yang diciptakan hujan mendadak keruh. Bus sekolah
kuning itu muncul dihadapanku dan teman-teman lainnya yang juga
menunggu. Kami bergantian masuk ketika pintu bus dibuka.
Aku lalu duduk dikursi yang masih kosong. Dan ketika bus mulai
berjalan, aku memindahkan tas sekolahku ke kursi sebelahku. Aku merapat
pada kaca, menikmati hujan dari dalam. Puas menikmati hujan –yang tidak
pernah bersahabat itu, aku menyandarkan kepalaku di kursi. Perjalanan ke
rumah masih sepuluh menit lagi.
Ibu sudah didepan pintu rumahku ketika bus seoklah itu
memberhentikanku didepan rumah. Dengan payung di tangannya, beliau
menghampiriku. Seketika aku memeluknya, mencari kehangatan dari
tubuhnya.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Ibu. Aku menggeleng, “Menyedihkan,”
ujarku singkat. Aku menutup pintu rumahku, lalu melepas mantel, dan
menggantungnya didekat pintu. Aku lalu mengikuti Ibu menuju dapur.
“Kenapa, sayang?” tanya beliau lagi, sambil sibuk menghangantkan sup
tomat untukku. “Belum satupun teman sekelas yang bisa dekat denganku,”
aku menjawab sambil menyiapkan mangkuk dan sendok dimeja makan.
“Mereka tidak ada yang cocok denganku, bu,” jelasku lagi.
Ibu beralih ke meja makan, sambil mengangkat panci sup, dan
meletakkannya dihadapanku, “Kamu hanya belum menemukannya,” ujar ibuku.
Beliau lalu menyendokkan sup tomat untukku. “Makan dulu. Sup cocok dimakan saat hujan,” kata Ibuku lagi.
Hujan. Aku kurang suka dengan makanan yang terlalu hangat. Tapi bila
aku menuggu sup ini sampai dingin, aku akan menyesal telah membiarkannya
dingin. Di cuaca seperti ini pula. Dan disaat hujan begini, aku harus
menyantapnya.
Tahun pertamaku di sekolah baru ini juga harus diawali dengan hujan.
Akankah tahun ini berjalan mulus? Aku tidak yakin, tapi aku juga tidak
pesimis.
Pagi ini rintik-rintik ketika aku sampai di sekolah. Dengan lapangan
voli super becek didepan kelasku, aku harus berputar melewatinya agar
sepatuku tidak kotor. Atau seragamku terkena cipratan seseorang yang
berlari diatasnya.
Aku baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama menuju ruang kelas.
Sebuah teriakan menyentakkanku, dan mungkin teman-teman sekolah yang
berada disekitarku. Aku menghentikan langkahku. “AWAS!” teriak
seseorang, bersamaan dengan itu, salah satu bola voli melayang kearah
seorang laki-laki.
Gadis yang berteriak tadi buru-buru berlari dan beruntung, ia dapat
membelokkan bola voli itu dengan tangannya sehingga anak laki-laki itu
selamat. Meski keberuntungan tidak berpihak padanya.
Sepatu bootsnya yang high-knee itu mendarat tidak stabil diatas
permukaan lumpur. Ia terpelanting kekanan, menimbulkan cipratan lumpur
yang terlempar kesana-sini. Bersama hujan yang kian menderas. Bersama
anak laki-laki yang pergi tak acuh juga.
Aku mengedarkan padanganku, tidak ada yang peduli. Maka, tanpa
berpikir ulang, aku menurunkan tas sekolah dari pundakku, dan berlari
menuju gadis tadi, melewati rumput. Jadi setidaknya yang terciprat ke
bajuku bukan lumpur tapi air.
“Mari kubantu,” ujarku setelah aku sampai didekatnya. Ia terlihat
kesakitan. Aku membungkuk, mengulurkan sebelah tangaku. Sementara
tanganku yang satunya menumpu pada lututku.
Ia meraih tanganku. “Makasih,” ucapnya sambil mencoba berdiri. “Tapi
kau akan kotor,” katanya lagi. Aku menggeleng, “Tidak akan jadi
masalah,” jawabku cepat. Ia pun berdiri, dan aku menawarinya untuk
diantar ke Medical Room.
Tapi ia menolak, “Kita disini dulu. Hujan akan membersihkan baju kita
yang kotor,” kataya, memberi alasan. “Oh ya, aku Rinai,” ia berkata
lagi, sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku menjabat tangannya yang
penuh lumpur, “Shanin,” kataku.
Hey, Ibu benar. Ada yang ramah denganku. Tapi dia menyukai hujan?.
Dingin dan basah memang, tapi aku tetap diam disini. “Kamu, tidak
menyukai hujan?” tanyanya hati-hati. “Anugerah Tuhan yang satu ini
menyenangkan, kok. Aku yakin rumput disebelah sana setuju,” tambahnya,
sebelum aku sempat menggeleng –atau mengangguk.
Rinai mengarahkan telunjuknya pada rumput yang tumbuh dipinggiran
lapanga. Helaian daunnya yang ramping naik-turun terkena tetes demi
tetes rintik hujan. Seolah mengangguk-anggung, mengiyakan perkataan
Rinai.
“Kau tidak berteduh?” tanyaku beberapa menit kemudian, “Sepertinya
baju kita sudah cukup bersih,” aku tidak mau jujur bahwa aku sangat
kedinginan. Air yang membasahi bajuku, dan angin yang meniup. Membuat
air yang membasahi bajuku seolah masuk melalui pori-pori di kulitku.
Aku berharap Rinai mengangguk, dan mengikutiku menuju Medical Room.
Untuk meminta cokelat hangan atau obat, mungkin. Tapi kulihat ia
menggeleng. “Tidak. Aku sedang berteduh. Aku berteduh dalam rinai
hujan,” jawabnya.
Aku menarik ujung bibirku. Tersenyum, walaupun samar. “Tapi kamu
bukan Putri Hujan kan?” tanyaku, “Kamu pasti akan merasa kedinginan pada
titik tertentu nanti!” lanjutku. “Siapa bilang?” tanyanya balik, meski
ia akhirnya mengikutiku berjalan menuju Medical Room.
Dan Rinai masih terus bercerita mengenai hujan. Air yang turun,
genangan yang ditimbulkan, cuaca buruk yang diakibatkan, dan langit
gelap. Meski ia tak tahu aku sebenarnya membencinya. Hujan –bukan Rinai.
Hujan semakin deras. Aku mendengus, apakah ia akan tetap begitu
hingga bell pulang sekolah berdering? Aku berusaha mengabaikannya,
nyatanya hujan menuntunku menemukan teman baru. Yang mencintai hujan.
Jadi haruskah aku masih bersikap tidak bersahabat kepada hujan yang
selalu datang di bulan kelahiranku?. Meramaikannya dengan irama-irama
ceria melalui air yang turun, berdentam-dentam di jalanan.
Aku menyusut dengusanku. Hujan menderas diluar sana, tetapi tanpa
kilatan petir. Pelan-pelan rintik itu membasahi hatiku. Meluruhkan
kebencianku dengan hujan. Seperi hujan membersihkan lumpur tadi. Rinai
benar, hujan itu menyenangkan.
Rinai tidak salah. Apakah memang benar dia Putri Hujan?
Amalia, 5-6 Oktober 2012
While waiting for rain to fall down
Mengingatkanku pada hujan yang kita selalu berteduh dalam rinainya, meski kita sedang pusing memikirkan UN, kawan
special for First Generation and those rain or shine that we've trough, together...
aku paling suka ini :)
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus