Sabtu, 08 Desember 2012

Rinai


Bukan, aku bukan pemuja hujan –hanya saja, aku terinsiprasi olehnya.

   Hujan turun lagi. Langit kembali menangis. Sesaat setelah aku sampai di halte depan sekolah. Ini bulan Oktober, dan memang seharusnya hujan turun. Membasahi jalanan Malioboro, atau rerumputan di Alun-alun Utara. Beberapa pejalan kaki yang masih menikmati perjalanannya terpaksa buru-buru mencari tepat yang teduh. Sementara serumpun kle di seberang kuyakin sedang merayakan kemakmuran mereka. Menari ditengah rintik hujan.
   Aku mengangkat tanganku lagi. Lalu mendorongnya melewati atap. Air hujan yang sedang turun menyapa telapak tanganku. Dingin. Aku menarik tanganku kembali, lalu berusaha mengeringkannya. Kedua telapak tangan kusatukan, dan mulai kugerakkan. Mencari sedikit kehangatan. Hidungku mencium wangi rumput dan jalanan yang tersiram air hujan.
   Entah, hujan spertinya tidak pernah bersahabat denganku. Ia selalu datang di saat-saat yang tidak memungkinkan seperti ini. Seperti saat ini; ketika aku sedang berada di halte, menunggu bus yang akan mengantarkanku pulang.
   Mantel yang kupakai rupanya bukan barang yang efektif untuk meredam dingin. Bukan karena air yang turun. Mungkin karena angin yang terus berhembus mengirinya tetesan air yang terjun bebas ke jalanan aspal didepanku.
   Tiba-tiba bau alami yang diciptakan hujan mendadak keruh. Bus sekolah kuning itu muncul dihadapanku dan teman-teman lainnya yang juga menunggu. Kami bergantian masuk ketika pintu bus dibuka.
Aku lalu duduk dikursi yang masih kosong. Dan ketika bus mulai berjalan, aku memindahkan tas sekolahku ke kursi sebelahku. Aku merapat pada kaca, menikmati hujan dari dalam. Puas menikmati hujan –yang tidak pernah bersahabat itu, aku menyandarkan kepalaku di kursi. Perjalanan ke rumah masih sepuluh menit lagi.

   Ibu sudah didepan pintu rumahku ketika bus seoklah itu memberhentikanku didepan rumah. Dengan payung di tangannya, beliau menghampiriku. Seketika aku memeluknya, mencari kehangatan dari tubuhnya.
“Bagaimana sekolahmu?” tanya Ibu. Aku menggeleng, “Menyedihkan,” ujarku singkat. Aku menutup pintu rumahku, lalu melepas mantel, dan menggantungnya didekat pintu. Aku lalu mengikuti Ibu menuju dapur.
“Kenapa, sayang?” tanya beliau lagi, sambil sibuk menghangantkan sup tomat untukku. “Belum satupun teman sekelas yang bisa dekat denganku,” aku menjawab sambil menyiapkan mangkuk dan sendok dimeja makan.
   “Mereka tidak ada yang cocok denganku, bu,” jelasku lagi.
Ibu beralih ke meja makan, sambil mengangkat panci sup, dan meletakkannya dihadapanku, “Kamu hanya belum menemukannya,” ujar ibuku. Beliau lalu menyendokkan sup tomat untukku. “Makan dulu. Sup cocok dimakan saat hujan,” kata Ibuku lagi.
   Hujan. Aku kurang suka dengan makanan yang terlalu hangat. Tapi bila aku menuggu sup ini sampai dingin, aku akan menyesal telah membiarkannya dingin. Di cuaca seperti ini pula. Dan disaat hujan begini, aku harus menyantapnya.
   Tahun pertamaku di sekolah baru ini juga harus diawali dengan hujan. Akankah tahun ini berjalan mulus? Aku tidak yakin, tapi aku juga tidak pesimis.

   Pagi ini rintik-rintik ketika aku sampai di sekolah. Dengan lapangan voli super becek didepan kelasku, aku harus berputar melewatinya agar sepatuku tidak kotor. Atau seragamku terkena cipratan seseorang yang berlari diatasnya.
   Aku baru saja menginjakkan kaki di tangga pertama menuju ruang kelas. Sebuah teriakan menyentakkanku, dan mungkin teman-teman sekolah yang berada disekitarku. Aku menghentikan langkahku. “AWAS!” teriak seseorang, bersamaan dengan itu, salah satu bola voli melayang kearah seorang laki-laki.
   Gadis yang berteriak tadi buru-buru berlari dan beruntung, ia dapat membelokkan bola voli itu dengan tangannya sehingga anak laki-laki itu selamat. Meski keberuntungan tidak berpihak padanya.
Sepatu bootsnya yang high-knee itu mendarat tidak stabil diatas permukaan lumpur. Ia terpelanting kekanan, menimbulkan cipratan lumpur yang terlempar kesana-sini. Bersama hujan yang kian menderas. Bersama anak laki-laki yang pergi tak acuh juga.
   Aku mengedarkan padanganku, tidak ada yang peduli. Maka, tanpa berpikir ulang, aku menurunkan tas sekolah dari pundakku, dan berlari menuju gadis tadi, melewati rumput. Jadi setidaknya yang terciprat ke bajuku bukan lumpur tapi air.
   “Mari kubantu,” ujarku setelah aku sampai didekatnya. Ia terlihat kesakitan. Aku membungkuk, mengulurkan sebelah tangaku. Sementara tanganku yang satunya menumpu pada lututku.
Ia meraih tanganku. “Makasih,” ucapnya sambil mencoba berdiri. “Tapi kau akan kotor,” katanya lagi. Aku menggeleng, “Tidak akan jadi masalah,” jawabku cepat. Ia pun berdiri, dan aku menawarinya untuk diantar ke Medical Room.
   Tapi ia menolak, “Kita disini dulu. Hujan akan membersihkan baju kita yang kotor,” kataya, memberi alasan. “Oh ya, aku Rinai,” ia berkata lagi, sambil mengulurkan tangan kanannya. Aku menjabat tangannya yang penuh lumpur, “Shanin,” kataku.
   Hey, Ibu benar. Ada yang ramah denganku. Tapi dia menyukai hujan?. Dingin dan basah memang, tapi aku tetap diam disini. “Kamu, tidak menyukai hujan?” tanyanya hati-hati. “Anugerah Tuhan yang satu ini menyenangkan, kok. Aku yakin rumput disebelah sana setuju,” tambahnya, sebelum aku sempat menggeleng –atau mengangguk.
    Rinai mengarahkan telunjuknya pada rumput yang tumbuh dipinggiran lapanga. Helaian daunnya yang ramping naik-turun terkena tetes demi tetes rintik hujan. Seolah mengangguk-anggung, mengiyakan perkataan Rinai.
   “Kau tidak berteduh?” tanyaku beberapa menit kemudian, “Sepertinya baju kita sudah cukup bersih,” aku tidak mau jujur bahwa aku sangat kedinginan. Air yang membasahi bajuku, dan angin yang meniup. Membuat air yang membasahi bajuku seolah masuk melalui pori-pori di kulitku.
   Aku berharap Rinai mengangguk, dan mengikutiku menuju Medical Room. Untuk meminta cokelat hangan atau obat, mungkin. Tapi kulihat ia menggeleng. “Tidak. Aku sedang berteduh. Aku berteduh dalam rinai hujan,” jawabnya.
   Aku menarik ujung bibirku. Tersenyum, walaupun samar. “Tapi kamu bukan Putri Hujan kan?” tanyaku, “Kamu pasti akan merasa kedinginan pada titik tertentu nanti!” lanjutku. “Siapa bilang?” tanyanya balik, meski ia akhirnya mengikutiku berjalan menuju Medical Room.
   Dan Rinai masih terus bercerita mengenai hujan. Air yang turun, genangan yang ditimbulkan, cuaca buruk yang diakibatkan, dan langit gelap. Meski ia tak tahu aku sebenarnya membencinya. Hujan –bukan Rinai.
Hujan semakin deras. Aku mendengus, apakah ia akan tetap begitu hingga bell pulang sekolah berdering? Aku berusaha mengabaikannya, nyatanya hujan menuntunku menemukan teman baru. Yang mencintai hujan.
   Jadi haruskah aku masih bersikap tidak bersahabat kepada hujan yang selalu datang di bulan kelahiranku?. Meramaikannya dengan irama-irama ceria melalui air yang turun, berdentam-dentam di jalanan.
Aku menyusut dengusanku. Hujan menderas diluar sana, tetapi tanpa kilatan petir. Pelan-pelan rintik itu membasahi hatiku. Meluruhkan kebencianku dengan hujan. Seperi hujan membersihkan lumpur tadi. Rinai benar, hujan itu menyenangkan.
   Rinai tidak salah. Apakah memang benar dia Putri Hujan?


Amalia, 5-6 Oktober 2012
While waiting for rain to fall down
Mengingatkanku pada hujan yang kita selalu berteduh dalam rinainya, meski kita sedang pusing memikirkan UN, kawan
special for First Generation and those rain or shine that we've trough, together...

2 komentar: